SANGIHE, MANADOLIVE. CO. ID–Pro dan kontra sikap pemerintah daerah terhadap izin PT.Tambang Mas Sangihe terus bergulir. Namun yang perlu dipahami kewenangan dalam hal izin pengelolaan tambang prinsipnya ada pada Pemerintah Pusat. Dan wilayah Sangihe dalam kesatuan Negara Republik Indonesia otomatis masuk juga ke dalam batas-batas kewenangan tersebut. Bupati dalam mengambil sikap harus menyeimbangkan antara Pimpinan Pemerintahan dan keterwakilan sebagai masyarakat Sangihe.
Penolakan secara pribadi itu masuk dalam wilayah kapasitas dari Bupati selaku orang yang dituakan di Bumi Tampungang Lawo, namun dari prinsip bernegara ini diatur secara utuh sehingga pemerintah daerah harus tetap mengawal keputusan dari Pemerintah Pusat terkait dengan wilayah pertambangan karena batas-batas kewenangannya.
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, SE, ME angkat bicara dan mengatakan secara pribadi dirinya menolak PT.TMS,tetapi secara Birokrasi harus ada aturan dan tatanan yang harus dijalankan. “Pemerintah Sangihe dan khususnya saya secara pribadi sudah menolak operasi PT. TMS dari sebelum ijin keluar. Sikap penolakan ini dibuktikan sejak awal tahun 2018, dengan adanya rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Kepulauan Sangihe kepada Bupati Kepulauan Sangihe nomor 050/28/63 tanggal 10 Januari 2018 terhadap permohonan dari Direktur PT. Tambang Mas Sangihe untuk diterbitkannya rekomendasi Bupati tentang kesesuaian ruang kegiatan pertambangan.
Hal Itu juga dapat dibuktikan dengan AMDAL, itu tidak keluar dari Kabupaten, padahal itu kewenangan Kabupaten. Mereka urus, kami tidak tau dari mana, sehingga ijin itu keluar.”jelas Bupati. Tak hanya sampai disitu sikap pemerintah yang menolak sejak izin belum keluar yaitu dalam kapasitas untuk melakukan pengawalan terkait dengan lingkungan hidup, sehingga dengan keberpihakan terhadap masyarakat dalam hal ini untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup di Sangihe.
Oleh karenanya diminta adanya pertimbangan kembali terkait dengan izin PT. TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe, melalui surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor 660.3/24/2345 Tanggal 22 September 2020 Perihal Peninjauan Kembali Prosedur Penyusunan dan Penilaian Dokumen AMDAL PT. Tambang Mas Sangihe.
“Sikap menolak selaku Pemerintah Daerah sudah dilakukan dari awal ketika izin itu berproses bukan ketika ijin operasi keluar baru menolak. Tetapi ketika persetujuan izin ini keluar dari Pemerintah Pusat, walaupun itu tidak direkomendasikan oleh Pemerintah Kabupaten, ya mau tidak mau Pemerintah Daerah harus tunduk kepada Pemerintah Pusat, Karena hal Itu diatur oleh Undang-undang. Disitulah letak persoalannya,”terang Bupati.
Dari statement di atas dapat diketahui bahwa Bupati bukan orang yang tidak konsisten dengan keberpihakan kepada masyarakat atau kepada keputusan Pemerintah Pusat, akan tetapi Bupati harus memilah antara kewajiban selaku masyarakat Sangihe dan kewajiban selaku penyelenggara pemerintah di daerah untuk kesinambungan penyelenggaraan Pemerintahan.
Pada prinsipnya Pimpinan Daerah yang memahami penyelenggaraan pemerintahan. Dengan bahasa yang mudah dimengerti bahwa Bupati tetap ada bersama rakyat akan tetapi aturan Birokrasi juga harus dijalankan karena hubungan antara pemerintah pusat sampai daerah tetap berjalan dengan baik. Jadi Bupati Kepulauan Sangihe sebagai pimpinan Daerah bukan tidak berpihak kepada rakyat tetapi pada kenyataannya harus memilah dimana kapasitasnya sebagai penyelenggara negara atau sebagai bagian dari masyarakat yang ada di daerah ini, Sehingga arif dan bijaksana apabila kita melihat dari kacamata terkait posisi seseorang.
Dalam setiap menyampaikan saran atau ktitikan tidak harus menjudge seseorang dari cara pandang masing-masing. Semua harus dipelajari serta dipahami dan juga melihat titik permasalahannya. Disadari bahwa Daerah Kepulauan Sangihe merupakan wilayah yang tidak cukup luas, jadi berdasarkan UU nomor 1 tahun 2014 terkait dengan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luasan di bawah 2.000 km2, sehinga Kabupaten kepulauan Sangihe dengan luasan sebesar 736,98 Km2 merupakan wilayah pulau kecil yang tidak diprioritaskan sebagai lokasi pertambangan.
Dan itu bisa menjadi pijakan dari rakyat Sangihe untuk bermohon kepada pemerintah pusat untuk bisa melakukan kajian dan peninjauan kembali terkait dengan izin pertambangan yang sudah keluar. Sebaliknya dari Pemerintah Daerah tidak bisa langsung menyampaikan permohonan tersebut karena terbentur dengan adanya Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Artinya pemerintah daerah harus konsisten antara aturan yang dibuat dengan apa yang dilakukan. Jangan sampai ada benturan terkait dengan sikap Kepala Daerah dengan aturan perundang-undangan yang berlaku serta diterbitkan di daerah ini. Dimana dalam Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 dinyatakan bahwa wilayah selatan itu memang direkomendasikan sebagai wilayah pertambangan namun harus dilakukan secara selektif dan terbatas.
Merujuk dari sejarah pengelolaan tambang di Kabupaten Kepulauan Sangihe dari tahun 80-an sudah ada penambang-penambang rakyat yang melakukan kegiatan pertambangan, sehingga dengan diterbitkannya Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 menjadi acuan bagi masyarakat yang melakukan pertambangan di wilayah yang telah ditentukan sebagai wilayah pertambangan, dalam catatan, itu harus dilakukan secara selektif dan terbatas, artinya fungsi pengelolaan lingkungan itu harus betul-betul dikawal secara komprehensif.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah, terlebih Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, SE, ME tetaplah berpihak kepada masyarakat dan memikirkan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi harus tetap mengikuti aturan perundang-undangan yang mengatur untuk keberlangsungan jalannya Pemerintahan yang baik di Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dicintai.(hry)